Percaturan politik antara Timur dan Barat
telah berlangsung sejak ribuan abad yang lalu. Perang pengaruh dan kekuasaan
telah bergelora sejak peradaban Romawi dan Persia unjuk gigi. Pasang surut dan
tarik ulur wilayah kekuasaan telah berabad-abad mereka gencarkan. Hingga Persia
berhasil menguasai banyak wilayah Romawi, dan dengan perputaran zaman Romawi
pun kembali berhasil menguasai banyak wilayah Persia. Begitulah dua peradaban
ini beradu kekuatan militer. Keduanya adalah peradaban dengan khazanah dan
corak masing-masing. Persia adalah bangsa atau peradaban yang berdiri atas
dasar spiritualitas agama. Bangsa ini menganut agama Zoroaster, disamping
memiliki filsafatnya sendiri. Sedangkan Romawi lebih dikenal dengan bangsa
otot, memiliki kekuatan fisik yang kuat dan suka berperang. Khazanah keyakinan
mereka adalah mitos atau mitologi Yunani. Kaum cendikiawan mereka adalah para
filosof Athena. Sehingga corak mereka lebih condong pada rasionalitas. Maka
pertempuran bukan saja tentang siapa yang kuat, namun lebih dalamnya adalah
pertempuran antara dua peradaban dengan corak bertentangan, Romawi yang
rasionalis dan Persia yang spiritualis.
Kenapa Romawi lebih dikenal dengan rasionalis,
sebab sejak munculnya filosof Athena terkhusus pasca mmunculnya 3 bapak
filsafat, Socrates, Plato, dan Aristotales, yang berhasil mendobrak akal
masyarakat Yunani Kuno hingga lunturlah kepercayaan masyarakatnya terhadap
mitos-mitos yang ada. Aliran filsafat mereka mengajak masyarakat Yunani Kuno
untuk lebih reflektif dan memikirkan hakikat dirinya sebagai manusia. Segala
yang tidak masuk akal didobrak oleh 3 filosof ini, walau nyawa Socrates hilang
oleh kemauan besarnya untuk menginsyafkan masyarakat Athena sebab ia dituduh
telah meracuni pikiran-pikiran anak muda. Barulah ratusan tahun kemudian
masyarakat Yunani mengenal agama. St. Paul adalah orang pertama yang
memperkenalkan agama pada masyarakat Yunani. St. Paul memperkenalkan agama Nasrani
kepada masyarakat Yunani yang sangat jauh dari nilai-nilai agama atau
spiritualitas. Seolah kehadiran St. Paul bak oase di tengah sahara, melepaskan
dahaga kekeringan batin Yunani yang gersang dari nilai-nilai spiritual.
Lalu di sebelah Timur, kita temukan
manusia-manusia yang damai dan tenang, sebab Timur adalah tempat terbitnya
berbagai agama, Islam, Buddha, Kong Hu-Cu, Yahudi, Nasrani, dan Zoroaster.
Masyarakatnya sudah terkenal religius dan dekat dengan nilai-nilai
spiritualitas. Memang Timur seperti Persia dan Cina memiliki filsafat sendiri,
namun corak filsafat Timur lebih dekat kepada reflekstif batin dan akhlak atau
moralitas, senada dengan masyarakatnya yang agamis, atau mungkin perpaduan
antara agama dan filsafatnya yang mengarah pada batin. Dan bahkan hingga kini
agama-agama tersebut masih berakar kuat pada sebagian tempatnya. Seperti Buddha
di India, Kong Hu-Cu sempat dianut oleh hampir seluruh dataran Cina, Yahudi, Nasrani
dan Islam yang penganutnya sudah tersebar dimana-mana, namun tetap Yarussalem
menjadi tempat bersejarah bagi tiga agama ini, disamping Islam memiliki kota
suci lain, Makkah dan Madinah.
Begitulah dahulunya pergumulan peradaban Timur
dan Barat dengan coraknya masing-masing, Timur dengan manusianya yang agamis,
lalu Barat dengan manusianya yang rasionalis.
Bagaimanakah hari ini?
Jika melihat pada dunia Timur, kita tak akan
melihat perbedaan yang signifikan pada manusianya. Timur tetap dengan corak
manusianya yang agamis dan penuh dengan nilai-nilai spiritual. Seperti Islam
yang masih mengakar kuat bagi Arab, Asia Tenggara, sebagian Afrika, Pakistan,
dan negara pecahan Uni Soviet. India menjadi negara yang paling memiliki banyak
agama. Lalu Cina sempat mayoritas masyarakatnya menganut Kong Hu-Cu sebelum
penguasanya berideologi Komunis yang ateis. Secara umum Timur masih dengan
identitasnya sebagai bangsa-bangsa yang beragama.
Sedangkan Barat. Sebelum kita berbicara
tentang Barat, hari ini secara khusus Barat memiliki makna lain yang bukan
berarti negara-negara yang berada di geografis bagian Barat, sebab Canada yang
letaknya di Utara, dan Australia yang letaknya di Selatan tapi keduanya
digolongkan sebagai negara Barat. Sedangkan Turkey yang sebagian wilayah di Barat
tidak digolongkan sebagai Barat tapi dianggap sebagai Timur. Fahmi Zarkasyi
dalam bukunya Misykat mendefiniskan Barat, “Itu semua adalah identifikasi Barat
terhadap dunia selain Barat. Barat sebenarnya adalah pandangan hidup atau suatu
peradaban dan terkadang ras kulit putih. Pandangan hidup Barat merupakan
kombinasi Yunani, Romawi, tradisi bangsa-bangsa German, Inggris, Perancis, Cetlic,
dan sebagainya.
Maka Barat adalah orang-orang yang berpandangan hidup Barat dan
kebetulan peradaban ini di dominasi oleh orang berkulit putih, meskipun kini
terdapat pula Barat berkulit hitam atau sawo matang. Itulah sebabnya muslim
yang hidup di Barat bukan orang Barat.” Definisi ini juga bisa menjawab kenapa Turkey
yang sebagian wilayahnya di Barat tapi tak pernah diakui sebagai negara Barat
walau negaranya telah lebih maju dibandingkan negara-negara Barat, jawabannya
kerena Turkey adalah negara mayoritas muslim, walaupun Kemal Ataturk telah membaratkan
(sekuler) negara Turkey tetap coraknya adalah negara muslim.
Dapat digambarkan bahwa Barat adalah negara
yang berpandang hidupkan Barat. Apa itu pandangan hidup Barat (worldview)?
Menurut Fahmi, “Kalau melihat sejarah worldview Barat modern itu, seperti yang
diakui oleh beberapa pakar adalah scentific worldview (pandangan
hidup keilmuan). Artinya cara pandang terhadap alam ini melulu saintifik dan
tidak lagi religius. Tidak berarti di zaman Barat modern tidak ada orang yang
religius. Mereka ada tapi yang dominan di Barat adalah saintis. Hal-hal yang
tidak dapat dibuktikan secara saintifik atau secara empiris tidak dapat
diterima, temasuk mata-fisika dan teologi. Maka di zaman Barat modern sains
dipisahkan dari agama, dan karena itu sains berkembang pesat.” Sambungnya, “Ciri
dari worldview yang saintifik itu tercermin dari berkembangnya paham-paham
seperti empirisisme, rasionalisme, dualisme atau dikotomi. Sekularisme,
desakralisasi, pragmatisme dan sebagainya, paham-paham itu semua otomatis
meminggirkan (memarginalkan) agama dari peradaban Barat.”
Dari penjelasan Fahmi sebagai pakar dan orang yang
selalu bergulat tentang pemikiran Barat dan teologi, sederhananya pandangan
hidup Barat adalah bersandarkan pada akal semata, apa yang tidak masuk akal
maka itu tak dapat diterima, maka agama dan Tuhan yang tak bisa dirasionalkan
tak bisa diterima, parahnya ada yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati, seperti
Karl Marx, Nietzsche dan kawan-kawannya. Cara pandang ini banyak diprakarsai
oleh ilmuan atau sanitis Barat, mendefinisikan segala sesuatu berdasarkan akal
dan melihat efek segala sesuatu dari sosiologi dan antropologi. Jika demikian
maka dipastikan tidak ada yang namanya kebenaran, mungkin parahnya mereka
mengatakan, “tidak ada agama yang benar, sebab agamalah yang menjadikan manusia
berperang selama kurun sejarah!” pandangan seperti inilah yang melahirkan
sekularisme pemisahan antara agama dan kehidupan, pluralisme yang menganggap
semua agama sama, dualisme yang mengatakan, “lebih baik pemimpin kafir daripada
pemimpin muslim yang korupsi.” Dan sebagainya paham yang disebutkan di atas.
Kengerian ini lalu ditransfer dan diserap
tanpa saringan oleh Timur. Padahal paham yang jelas-jelas menolak Tuhan atau
dekat dengan ateis ini tak sesuai dengan kondisi Timur yang darah dagingnya
adalah agama. Banyak dari tokoh intektual kita yang mencoba memisahkan antara
kehidupan keseharian dengan agama, seperti yang mengatakan, “kampus adalah zona
bebas Tuhan”, “politik jangan bawa-bawa agama”, “agama cukup di masjid saja”
dan lainnya yang kedengaran seperti lelucon padahal secara hakikat itu sangat
berbahaya. Sebagai muslim setiap gerak-gerik kita adalah ibadah, hanya dengan
niat karena Allah aktivitas yang sifatnya duniawi bisa bernilai akhirat.
Kita
diajarkan saat masuk WC untuk membaca doa dan beradab dalam WC dengan tidak
bersuara, hingga di WC pun kita disuruh beragama, apalagi di ranah politik yang
sifatnya berkaitan dengan kemaslahatan banyak orang lebih utama lagi kita
membawa nilai-nilai agama kedalamnya. Lihatlah Mesir saat revolusinya, semua
ulama dan pasturnya turun kejalanan memimpin masyarakatnya, mereka sholat
berjamaah di jalan, berdoa dan qunut dengan panjang untuk runtuhnya rezim
penguasa, ketika rezim penguasnya tumbang semuanya sujud syukur. Di Jakarta
lebih dekat, aksi 411, 212 dan lainnya telah menjadi bukti bahwa agama memiliki
pengaruh dalam kehidupan sosial dan politik kita, efeknya apa? Lihatlah Jakarta
hari ini yang damai. Masih banyak contoh-contoh lainnya. Sudah menjadi
identitas kita untuk beragama. Agama tak bisa dipisahkan dari kita.
Biarlah Barat
mengatakan bahwa kita orang-orang Timur adalah orang kolot yang masih beragama,
biarlah mereka mengatakan kita orang Timur adalah orang-orang yang miskin,
walau demikian kita memiliki apa yang tak dimiliki oleh Barat, yaitu ketenangan
batin. Lihatlah persentase orang bunuh diri di Barat, lihatlah kerusakan moral
mereka, yang menghalalkan perkawinan sejenis, lihatlah pemikir-pemikir mereka
yang banyak gila karena menolak fitrah mereka sebagai makhluk yang tak bisa
hidup tanpa bersandar pada Tuhan. Lihatlah stress pemikir-pemikir mereka yang
memaksa akal mereka menjadi Tuhan. Tentu itu semua adalah bentuk keruskan
tertinggi dari manusia, dimana ia keluar dari fitahnya sebagai seorang manusia
dan hamba. Mereka sangat yakin dengan hukum sebab akibat (kausalitas) semuanya
bisa diprediksi melalui gejala dan akibatnya, padahal di dunia ini banyak hal
di luar akal manusia dan perediksi.
Ketika mereka tak bisa mempercayai itu mereka akan stress, tapi lihatlah mereka yang
beriman, meraka pasrah dan tawakal dengan masa depan, bagi seorang muslim
mereka sangat paham dengan hal ini sebab setiap jum’at mereka membaca kisah Nabi
Musa dan Nabi Khidir lalu disambung dengan kisah Dzulqarnain pada surat Al
Kahfi. Pada kisah ini mengajarkan seorang muslim dua pelajaran, pertama dari
kisah Musa dan Khidir kita belajar tentang ada hal-hal yang kita saksikan tapi
kita tak bisa berbuat apa-apa untuk merubahnya. Kedua, dari kisah Dzulqarnain
kita belajar bahwa ada sesuatu yang bisa kita ubah. Dua kisah ini berkaitan dan
memiliki makna yang sangat dalam, dalam kehidupan kita akan menemukan perkara
yang kita bisa terlibat disanan dan bisa menyelesaikannya, namun ada juga
perkara lain yang kita hanya bisa meyaksikannya dan tak bisa berbuat apa-apa,
disinilah tawakal kita sebagai hamba diuji, kepasrahan pada ketentuan Allah
adalah bentuk keimanan atas takdirnya.
Sebagai orang Timur jika boleh sedikit rasis,
dan seorang muslim kita seharusnya bangga dengan diri kita dan identitas kita.
Untuk maju kita harus dengan cara kita sendiri, karena sejarah dan kultur Barat
sangat jauh berbeda dengan kita. Perjalanan mereka dengan agama tak begitu
harmonis yang berbeda jauh dengan kita yang agama adalah sumber kebangkitan dan
kemerdekaan, tanpa agama Indonesia tidak akan merdeka dan berkat agama
Indonesia merdeka, itu termaktuk di Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Agama
adalah ruh dalam kehidupan tanpanya hidup akan hampa, tak terbayang jika kita
hanya bersandarkan pada akal, apa yang terjadi jika kita mendapatkan masalah
yang berat, tak tahu kepada siapa hendak mengadu. Berkat agama dan imanlah
berat kehidupan ini menjadi ringan, ada janji dan harapan dari setiap
kesulitan. Dan nilai-nilai kesabaran, ikhlas, tawakal dan lainnya yang tak bisa
dirasionalkan tapi berhasil melampaui rasional manusia. Nilai-nilai tersebut
sangat dipahami oleh masyarakat jelata kita tapi tak dipahami oleh para saintis
mereka, makanya masyarakat kita masih bisa tertawa bahagia walau hidup miskin
papa dibandingkan dengan saintis Barat yang hidup dalam kemewahan dan kemajuan
tapi hati mereka selalu gelisah.
Teringat dengan pesan Buya Hamka, “kita
membutuhkan anak muda yang bisa menggabungkan antara Al Azhar dan Leiden.”
Maksudnya adalah anak muda yang bisa memahami pemikiran Timur yang agamis dan Barat
yang rasionalis. Dalam Islam diajarkan untuk adil, adil adalah menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Barat yang rasional bukanlah keantian mempelajarinya,
tetap kita boleh belajar kepadanya tapi harus dengan sikap kritis, penuh
pemahaman, dan tidak asal telan, perlu dikunyah-kunyah dulu dan dikeluarkan
gabah atau batu yang mengganggu, sebab tak seluruhnya sesuai dan kita butuhkan,
Ali Syari’ati seorang pemikir Iran telah mengingatkan ini pada bukunya Tugas
Cendikiawan Muslim. Dan cara memahami agama pun kita harus perdalam, agama
bukan hanya ritual ibadah. Dalam Fiqih Islam tak hanya diatur bagaimana cara
beribadah sholat, puasa, zakat, haji dan umroh, tapi juga diatur bagaimana
transaksi yang benar tanpa menimbulkan kerugian antara kedua belah pihak, hukum
pagi kriminal, pernikahan, warisan, dan lainnya.
Ilmu umum bukanlah ilmu yang
dilarang dipelajari, malahan jika dalam bidang ilmu tersebut hanya kita yang bisa
mendalaminya dan tidak ada orang lain yang bisa maka hukumnya adalah fardu ain
bagi kita untuk mempelajarinya, analogi yang diberikan Imam Alghazali pada
kitab Ihya’ Ulumuddin adalah seperti ilmu kedokteran, apabila disebuah tempat
ada seorang yang mempelajari kedokteran sedangkan di tempat tersebut tak ada
dokter maka wajib hukumnya baginya untuk mempelajari ilmu kedokteran. Begitu
juga dengan politik dan hukum, disaat sering terjadi diskriminasi hukum di
negara maka wajib bagi sebagian orang untuk mendalaminya dan berkiprah di
bidang hukum. Ilmu agamapun demikian wajibnya.
Terakhir sebuah kisah menarik saat Fahmi
Zarkasyi berkunjung ke perpustakaan Islamic Research Academy di Leicester
Inggris, mesin photo copy disana mendadak macet dan tak ada seorangpun yang
bisa memperbaikinya. Banyak orang yang sudah mengantri disana. Semua setengah
kesal dan tidak sabar. Tiba-tiba seorang berjanggut panjang dan berpakaian salwar
gamis mencoba mengotak-atik mesin tersebut. Dan akhirnya dengan mudah mesin
itu berfungsi. Kisah sederhana dan tidak penting. Yang penting apa yang
dikatakan pria berjanggut panjang itu, sambil tersenyum ia berkata, “You
see! Wisdom always come from East” kamu lihat! Kebijaksanaan selalu datang
dari Timur. Lho! Apa hubungannya? Kami diam sejenak, tapi kemudian tertawa
renyah. Rasanya kami sedang memperolok-olok teknologi Barat. Teknologi itu
kecil! Tidak ada apa-apanya dibandingkan wisdom dari Timur.
Sebab itu matahari terbitnya di Timur dan
tenggelamnya di Barat.
Penulis: Zia Ulkausar Mukhlis